efek

Kamis, 23 Desember 2010

Antara MEMILIKI dan MENIKMATI


Boss super sibuk, mengisi acara makan siang yang dihadiri para direktur dan manajer perusahaan dengan memberi presentasi. Maka tanpa menyia-nyiakan waktu sedikit pun, si Boss memulai presentasinya. Yang menarik, selama ia berbicara, para hadirin justru sibuk menyantap makanan sembari mendengarkan presentasi.

Berikutnya adalah acara tanya-jawab. Selain untuk memberi kesempatan kepada hadirin mengungkapkan pikiran-pikiran mereka, acara ini sebenarnya juga untuk memberikan kesempatan pada si Boss untuk menikmati makan siangnya. Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan hadirin sangat singkat. Justru jawabannya yang sangat panjang. Ini membuat si Boss menunda lagi makan siangnya sampai pertemuan berakhir.

Lantas, dapatkah ia menikmati makan siangnya setelah itu ? Ternyata tidak. Ia harus buru-buru menuju bandara untuk menghadiri pertemuan berikutnya di kota lain.

Para pembaca, apa komentar anda terhadap si Boss tadi ?

Mana yang anda pilih, menjadi bos yang berkuasa, kaya dan terhormat seperti contoh di atas ataukah sekadar bisa menikmati makan siang yang lezat ?

Ada juga cerita mengenai seorang pengacara terkenal yang suatu ketika mengunjungi pameran mebel. Ia tertarik dengan meja makan berharga ratusan juta dan tanpa pikir panjang langsung membelinya. Yang menarik, setelah meja tersebut dikirim ke rumahnya, ia menjadi kebingungan. Perabot di rumahnya sudah sangat banyak dan tak ada lagi tempat tersisa.

Inilah contoh-contoh dari memiliki tetapi tidak menikmati.

Banyak orang yang memiliki, tapi tak sempat menikmati. Sebaliknya, banyak juga orang yang tak memiliki tapi bisa menikmati. Cobalah lihat vila-vila yang kini menjamur di kawasan Puncak. Siapakah yang memiliki vila tersebut? Namun, siapakah sebenarnya yang selalu menikmatinya? Orang-orang lain yang menyewanya !

Ada beberapa hal lagi yang menarik dari kedua paradigma ini :

Pertama : Orang yang menganut paradigma “memiliki” senantiasa memfokuskan perhatiannya pada hal-hal yang belum ia miliki. Dengan demikian, sebanyak apa pun harta yang ia miliki, selalu saja ada kesenjangan (gap) yang cukup besar dengan apa yang ia inginkan. Kesenjangan ini tentu saja menciptakan perasaan serba kurang dan tidak puas. Orang seperti ini tak pernah mengenal kata “cukup“. Ia selalu menginginkan lebih banyak lagi dan cenderung serakah terhadap kehidupan.

Sebaliknya, orang yang menganut paradigma “menikmati” senantiasa memfokuskan perhatiannya pada apa yang telah ia miliki. Semakin ia memikirkan apa yang sudah ia miliki, semakin mudahlah ia menikmatinya. Pada gilirannya ini akan melahirkan perasaan aman, tenteram dan damai. Dan ajaibnya, semakin ia menikmati apa-apa yang telah ia miliki, semakin bertambah pula kenikmatan yang diperolehnya.

Kedua : Tanpa adanya kemampuan menikmati, maka betapapun banyaknya harta yang anda miliki tak akan pernah membuat anda puas dan bahagia. Ini seperti pengalaman yang mungkin pernah terjadi sewaktu anda masih kecil. Ketika anda sakit, orang tua anda malah menghibur anda dengan berbagai makanan yang lezat. Padahal, anda sedang kehilangan kemampuan menikmati. Dalam kehidupan sehari-hari, banyak juga orang yang memiliki kekayaan yang luar biasa, tetapi ironisnya untuk bisa makan saja sulitnya bukan main. Ada orang yang harus melakukan berbagai diet yang ketat. Ada juga orang yang makannya saja harus ditakar karena penyakitnya.

Ketiga : Saya belajar bahwa semakin banyak yang kita miliki, semakin berkuranglah kenikmatan yang kita dapatkan. Kalau anda memiliki satu mobil, anda akan benar-benar merawat, menjaga dan menikmatinya. Namun, begitu mobil anda bertambah menjadi dua, perhatian anda terpecah, dan karena itu kenikmatan yang semula anda dapatkan dari satu mobil mulai berkurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar