Sedikit sedikitlah berdoa, bila perlu tak usah! Itulah saran kontroversial yang bisa saya sampaikan untuk anda. Pada kenyataannya banyak orang yang berdoa tidak meminta, sebaliknya orang yang meminta sesungguhnya telah memanjatkan doanya. Saya cenderung memilih kata ‘pinta’ dibandingkan kata ‘doa’ sebagai sesuatu yang dipanjatkan kehadirat Tuhan.
Secara harfiah doa yang saya pahami adalah permintaan, harapan yang didahului puja puji kepada Tuhan. Sejatinya doa yang disampaikan itu adalah sesuatu yang pasti dimengerti oleh si peminta, demikanlah terminology dasar sebuah doa. Namun agaknya terminology tersebut telah berkembang menjadi ‘atas segala sesuatu yang dipanjatkan ke Tuhan adalah sebuah doa’ terlepas dimengerti atau tidak oleh si empunya doa. Disinilah letak permasalahan antara doa dan pinta yang saya coba jelaskan.
Pada zaman nabi nabi, doa dipanjatkan berdasar kebutuhan si pendoa yang dikomunikasikan dengan bahasa yang dimengerti yaitu bahasa mereka sendiri. Beberapa doa mereka berhasil diriwayatkan dengan sangat baik oleh para ahli rawi bahkan doa doa RasuluLLAH sendiri berhasil di rangkumkan menjadi sebuah buku ‘kumpulan mutiara doa doa rasuluLLAH dan sejenisnya’ dan hari ini generasi kita sibuk menghapal doa doa tersebut dan mencoba melafazkan sefasih mungkin sehingga tanpa sadar kita mencoba menyamakan kapasitas diri dengan kapasitas nabi dengan melafazkan doa doa beliau yang notabene adalah kebutuhan Nabi yang dipintakan sebagai pengemban misi utusan ALLAH bagi umat dan alam.. Atau semua kita mengadahkan tangan sambil berucap amin.. amin.. sebagai harapan dikabulkannya doa yang dibacakan oleh ustad pada acara acara selamatan di kelurahan maupun khanduri di rumah, apalagi di dalam mesjid waktu jumatan atau usai shalat magrib saat berdoa bersama. Sesungguhnya apa yang di doa oleh si pendoa? Mengertikah kita? Anggaplah kita mengerti bahasa arab, lalu apakah yang di dalam doa orang lain tersebut juga merupakan kebutuhan kita? Atau haruskah doa selalu dalam bahasa arab?
Tentu saja Tuhan sangat mengerti apa yang anda komunikasikan dalam bahasa apapun itu, masalahnya adalah jika anda sendiri tidak tahu apa yang anda pinta lalu anda berharap Tuhan mengabulkannya???? Guru saya mengatakan ‘kalau kamu berdoa dalam bahasa arab yang kamu tidak mengerti, itu kedengaran seperti orang bergumam hmm.. hmm.. atau nye..nye..nye.. apa yang kau omongkan, kalau bicara sama Tuhan bicaralah yang mesra! pakai bahasa ibu-mu (bahasa yang kau gunakan sehari hari yang pasti kau mengerti!)
Dalam suatu seminar motivasi bisnis yang pernah saya ikuti, si pembicara yang telah kaya raya menjadi pengusaha sukses dan memiliki banyak bidang usaha mengatakan ‘Tuhan itu transaksional, jadi kalau anda meminta kepada Tuhan mintalah yang jelas, jangan hanya sekedar Rabbana atina fiddunnya hasanah… terlalu global, bicaralah yang transaksional semisal oh Tuhan.. mobil Mercedes baru yang seri S itu cakep banget Tuhan.., membuat saya tergila gila, mau dong Tuhan.. tolonglah Tuhan kasi saya satu yang warna abu-abu..’. Ternyata selain harus mengerti pinta yang kita panjatkan agaknya harus jelas dan detil sebagaimana yang sebenarnya kita butuhkan agar Tuhan mengabulkan persis sesuai keinginan pinta kita. Abang saya bahkan pernah menunjukkan cara ’meminta’ yang sangat jelas dengan berkata ’bila kau ingin mobil seperti yang ada di majalah itu, ambil gambarnya dan mintalah kepada TUHAN dan tunjukkan gambarnya, TUHAN.. aku mau mobil yang seperti ini.. Tolonglah beri aku yang seperti ini TUHAN.. sambil jari yang menunjuk pada gambar mobil tersebut.
Kita kembali ke ’pinta’ dan mendalami apa hakikat dari ’pinta’ yang kita panjatkan. Saya teringat sebuah cerita ketika saya masih kanak kanak dulu tentang Aladin dengan lampu ajaibnya. (cerita disingkatkan) Si Aladin mendapat lampu ajaib, menggosoknya lalu keluarlah jin si penghuni lampu dan menawarkan kepada Aladin bahwa si jin akan mengabulkan 3 permintaannya. Cerita berlanjut dan si jin sudah mengabulkan 3 permintaan tersebut. Pertanyaannya adalah apakah si Aladin sudah cukup puas ketika sudah dikabulkan 3 permintaan oleh si jin penghuni lampu? Kenapa ia berusaha mendapatkan kembali ketika lampu tersebut di curi oleh orang lain walaupun permintaannya sudah dikabulkan? Saya dan anda mungkin akan berperilaku sama dengan si Aladin dalam upaya memperoleh kembali ’sumber’nya si lampu ajaib. Jika saya analogikan cerita itu dengan diri anda apakah anda sudah cukup puas bila ‘segala sesuatu yang anda pinta’ dikabulkan oleh Tuhan? Kuat dugaan saya anda akan berusaha keras untuk menguasai sourcenya seperti Aladin. Ketika anda sudah menguasai biangnya, apakah anda masih memerlukan yang lain? Pahamkah anda ketika Abu Bakar Shiddiq RA membawa seluruh hartanya dan menyerahkannya kepada Baginda Nabi untuk dibelanjakan di jalan ALLAH lalu Nabi bertanya kepada beliau ‘apakah yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, ya Abu Bakar?’ Abu Bakar Shiddiq RA menjawab ‘aku tinggalkan ALLAH dan RASULNYA’, (baca : perlombaan antara umar dan abu bakar). Ya.. Abu Bakar tidak memerlukan yang lainnya! Abu Bakar telah memiliki sumbernya yaitu ALLAH dan RASULNYA. Dengan bahasa lain ’Abu Bakar tidak perlu harta lagi karena sudah memiliki ”SUMBER HARTA”’.
Saudara, pinta pada hakikatnya adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, adalah curhat, menyampaikan keluh kesah, kasih mengasihi, meminta dan memberi, bukankah itu merupakan sesuatu hal yang dikatakan mesra?. Seperti cerita di atas ketika Tuhan mengabulkan pinta kita lalu dengan nafsu manusiawi serakah, kita ingin menguasai sumbernya. Tanyalah pada diri anda sendiri anda ingin apa, setelah hal itu dikabulkan anda mau apa lagi, setelah itu apa lagi… jadi pada intinya yang kita inginkan bukanlah harta, tahta, wanita atau apapun.. melainkan TUHAN itu sendiri!. Itulah hakikat yang sebenarnya walau banyak manusia yang merasa telah cukup puas ketika pintanya dikabulkan lalu melupakan bahkan menjauh dari Tuhan, yang memberikan segala keinginannya.. ironis!
Rahasia t’lah tersingkap
Bak mutiara yang mengkilap
Pandangku silau
Pada wujudMU yang kemilau
Tidak ada komentar:
Posting Komentar