Awalnya kedua kata ini merupakan kata yang kontradiksi bagi saya.
Kalau berpegang kepada pengharapan, mengapa harus berserah, kesannya pesimis.
Kalau berserah, buat apa orang berharap? Toh nanti juga semua
ujung-ujungnya kehendak Tuhan yang bekerja. Bukan harapan dan rencana saya yang jadi. Mungkin saya tidak sendirian yang berpikir seperti ini.
Yang lebih lucu ada juga yang merasa enggan untuk berharap.
"Kalau pengharapannya gak jalan, nanti kecewa berat. Malah nyalah-nyalahin Tuhan."
Alhasil semboyan hidupnya menjadi : berserah saja semua kepada Allah. Tidak
berharap apa-apa, tidak punya target apapun, tidak ada cita-cita yang
dikejar. Tapi buntut-buntutnya bila dirinya sudah merasa hidupnya garing,
orang seperti ini juga berbahaya. Biasanya malah jadi mengeluh,
"Hidupnya begini-begini saja. Bosan." (tetapi kalau disuruh membuat target
tidak berani).
Atau,
"Kenapa orang itu bisa begini, saya tidak?" (padahal dirinya sudah
mengatakan hidup sesuai dengan rencana Allah saja).
Ujung-ujungnya Tuhan lagi yang disalahkan.
Syukurlah Ia membuka otak saya yang sempat dihinggapi ketololan tadi.
Saya percaya Tuhan tidak pernah memerintahkan manusia untuk mengeliminir
salah satu dari kedua kata kerja tersebut. Ada yang enggan berharap, hanya
berserah. Berarti sudah melenceng dari apa yang dimaksud Allah. Tak mau
berharap itu sama juga menghilangkan unsur iman kepada Allah.
Ada yang hanya berharap, namun di hati berat untuk berkata,
"Biarlah kehendak-Mu yang jadi, bukan kehendakku." Pertentangan timbul
karena merasa bila kehendak Tuhan tidak sama dengan harapannya, maka buat
apa ia berdoa. Ya ini juga salah! Karena tidak mau berserah kepada rencana
Tuhan pun juga menghilangkan unsur iman kepada Allah itu sendiri.
Wah... mengapa jadi kacau begini ya? Ya... kacau, karena kita
mencampuradukkan makna dua istilah itu sendiri di dalam satu proses.
Akhirnya semua jadi bertentangan. Padahal berharap dan berserah adalah dua
hal yang dilakukan pada tahapan yang berbeda dan tujuan yang berbeda pula.
Berharap adalah suatu tindakan iman di mana kita memiliki rencana ke depan
(yang tentu saja baik!). Berharap adalah satu permohonan berdasarkan iman
percaya bila Tuhan akan mendengar dan mengabulkan pengharapan kita. Nah,
setelah berharap, kita masuk ke tahapan berserah. Berserah adalah suatu
sikap percaya kepada jalan Tuhan yang membawa kita kepada harapan kita
tersebut. Yakin bila harapan kita didengar Tuhan harus diiringi dengan
sikap bahwa kita siap untuk mengikuti langkah-langkah yang ditentukan-Nya
untuk menuju pengharapan itu.
Dan kerap kali kita terjebak, sudah mati langkah pada proses perjalanan
menuju terkabulnya pengharapan kita. Alhasil, kita mengatakan bila doa
kita tidak dikabulkan. Atau juga kita merasa harapan yang sudah kita
panjatkan tidak sesuai dengan hasilnya, dan kebanyakan kita menjadi kecewa
yang berlarut-larut. Nah kecewa yang berlarut-larut itu karena memang tidak
disertai dengan penyerahan diri yang menyatakan bahwa kita percaya bila
ternyata rencana Tuhan itu sesungguhnya lebih dahsyat dari pengharapan kita!
Ahli teologi banyak menafsirkan bila harapan doa kita akan dijawab oleh
Tuhan dengan ya, tunggu, atau tidak. Dan bila Tuhan memutuskan untuk
tidak mengabulkan harapan kita, apakah itu berarti kita harus putus harapan
untuk selanjutnya? Tentu saja tidak! Orang kerap tidak menyadari, bila
Ia mengatakan tidak, sesungguhnya kita sudah masuk dalam tahapan berharap
terus untuk suatu pilihan yang lebih baik yang Tuhan berikan buat kita.
Berikutnya proses berserah adalah hal yang harus dilakukan dengan kerendahan
hati mengikuti tahapan-Nya yang mengantarkan ke harapan yang lebih baik.
Saya menutup tulisan ini dengan sebuah contoh kisah sehingga lebih mudah
memahami bagaimana kita berharap sekaligus berserah.
Ada sebuah keluarga modern di mana ayah, ibu, dan anak yang walaupun saling
menyayangi satu sama lain, selalu sibuk dengan urusan masing-masing. Si Ibu
merasa si Ayah cukup memaklumi hasratnya untuk aktif di gereja. Sedangkan
si Ayah yang memaklumi keaktifan istrinya berusaha untuk cuek-cuek saja bila
ia sedang ditinggal sendiri bekerja atau di rumah. Sedangkan si Anak yang
sudah menanjak usia ABG dianggap oleh kedua orang tuanya sudah bisa mengurus
diri sendiri, apalagi di rumah ada PRT yang dapat meladeninya.
Suatu hari si Ibu merasa ada panggilan untuk lebih fokus dalam pelayanan di
gereja. Ia berniat untuk tidak tanggung-tanggung dalam pemahaman tentang
Tuhan yang diyakininya. Alhasil ia bermaksud untuk sekolah Alkitab. Si
Ayah dan Anak tentu saja tidak dapat menghalangi, siapa yang berani
menghalangi kehendak Tuhan? Tetapi si Ayah menolak untuk membiayai. Bagi
si Ibu, harapan ini sudah jelas adalah rencana Tuhan yang sempurna. Maka
berdoalah dia dengan sungguh agar diberikan dana entah dari suaminya atau
dari sponsor yang berminat padanya.
Setelah berdoa, bukan dana yang didapatnya. Melainkan si Anak
sakit-sakitan. Dan si Ayah mengalami kecelakaan cukup berat yang
menyebabkan si Ayah patah kaki. Proses kesembuhan si Ayah memakan waktu
yang lama hingga dirinya dapat berjalan kembali. Si Ibu dalam dilema. Uang
berkurang, penghasilan berkurang karena tidak ada yang mengawasi toko. Waktu
pun habis untuk mengurusi si Ayah dan si Anak yang juga sudah mulai sensi
bila si Ibu mengabaikan waktu curhatnya.
Dalam hati si Ibu kecewa,
"Mengapa apa yang kupinta malah dijawab dengan kekacauan? Bukan ini yang
saya harapkan, Tuhan!" Si Ibu merasa berbeban sangat berat! Cita-citanya
kandas, aktifitas pelayanan di gereja terganggu dengan kondisi keluarga,
bahkan kerap kali ia harus absen ke gereja bila si Ayah harus fisioterapi
dan menginap di rumah sakit. Si Ibu merasa tersiksa dalam batin walaupun ia
juga kasihan dengan kondisi suaminya. Ia tidak dapat protes dengan
keluarga, tetapi ia protes dengan Tuhan.
"Bukankah apa yang aku harapkan baik? Bukankah baik bila aku bertambah
dekat dengan-Mu? Tetapi mengapa harus ada rintangan seperti ini?" Dalam
hati, kadang ia berdoa untuk mengusir setan yang dianggap menghalangi
dirinya untuk dekat dengan Tuhan (catatan pribadi saya sendiri : dalam hal
ini saya merasa tindakan si Ibu baik dan benar karena bila ia tidak
demikian, mungkin setan sudah membawanya jauh dari Tuhan yang dianggap
mengecewakannya).
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, tanpa terasa satu
tahun dilalui dengan urusan keluarga. Si Ibu yang dulu selalu berperang
batin dengan Tuhan sekarang sudah mulai berserah saja kepada apa yang ingin
Tuhan tunjukkan pada-Nya. Ia hanya percaya, bila memang harapannya untuk
sekolah Alkitab itu baik, maka Tuhan pasti akan berikan jalan entah
bagaimana caranya. Dan kini si Ibu meminta hati untuk menikmati proses yang
diberikan-Nya. Awalnya si Ibu masih bingung mengapa harapan yang diusungnya
harus dilalui dengan cara yang sedemikian aneh dan sulitnya. Si Ibu juga
bingung apakah dengan serangkaian kejadian yang sudah dihadapinya masih
dapat membuka harapannya untuk terus melayani Dia.
Namun seiring waktu hati si Ibu dilembutkan. Si Ibu mulai merasa bahwa ia
memiliki hubungan yang berkualitas dan berkuantitas dalam keluarganya.
Waktu yang dihabiskannya bersama si Ayah dan si Anak membuat dirinya
mengerti perasaan si Ayah dan Anak yang ternyata lebih buta rohani
dibandingkan dirinya. Si Ibu kerapkali menyemangati si Ayah, membacakan
ayat-ayat Alkitab yang menghiburnya, melayaninya, mendoakannya, membantu
usaha keluarga dan memahami betapa pusing dan lelahnya si Ayah dalam
pekerjaannya yang disimpan sendiri selama ini.
Demikian juga si Ayah menjadi pribadi yang tidak cuek lagi. Ia mulai sering
berbicara dengan si Ibu dan Anak. Si Ayah mulai memahami betapa proses
kesembuhan yang relatif cepat akibat kasih istri dan anaknya yang senantiasa
mendampinginya. Si Ayah belajar untuk memulai doa keluarga bersama dan
menyadari bila Tuhanlah yang mempersatukan mereka kembali.
Si Anak pun mulai memiliki waktu yang intens dalam mengungkapkan perasaannya
kepada si Ayah dan si Ibu. Si Ibu juga mulai menyemangatinya belajar tanpa
harus disuruh. Bila selama ini si Anak hanya dapat bersama si Ibu ketika
berjalan-jalan ke mall bareng, kini si Ibu justru rindu tetap ingin bersama
si Anak. Si Ibu menyadari ada masa-masa yang harus dihabiskan dengan
anaknya sebelum si anak menghabiskan waktu dengan pacarnya dan pekerjaannya.
Singkat kisah, keluarga ini akhirnya menjadi keluarga yang kuat. Saling
mendukung, saling mengingatkan, saling berdoa, dan sama-sama mengasihi Tuhan
yang sudah memberikan mereka kesempatan untuk menjadi keluarga yang sehat.
Si Ibu mulai mengatur waktu pelayanannya dengan keluarganya. Dari kejadian
yang sudah dialaminya, si Ibu sadar bila ia tidak didukung oleh keluarganya
dan jauh dari keluarganya juga tidak membawa manfaat bagi pelayanannya di
depan banyak orang di gereja. Keluarga si Ibu justru akhirnya menjadi
contoh yang baik saat si Ibu harus memberi konsultasi kepada
keluarga-keluarga yang tidak harmonis.
Si Ibu akhirnya sangat bersyukur dan malu dengan protesnya yang lampau
kepada Tuhan. Dengan apa yang sudah dirasakannya sekarang ini justru
melampaui kepuasan yang dicarinya. Si Ibu sangat bahagia dengan apa yang
terjadi sekarang ini, di mana kondisi semua keluarganya dipulihkan di dalam
Tuhan. Dan di saat si Anak mulai kuliah di luar kota, sang Ayah tidak
diduga-duga mengajak si Ibu untuk belajar Alkitab bersama, dan melayani
Tuhan bersama. Dalam hati si Ibu itu bersimpuh sujud syukur, dan semakin
percaya bila harapan yang dipanjatkannya sungguh dikabulkan, tetapi bukan
dengan caranya, melainkan dengan cara yang lebih dahsyat dari-Nya. Dan itu
tidak akan terjadi bila si Ibu putus harap, dan tidak menyerahkan kepada
Tuhan untuk bekerja sesuai dengan cara-Nya. Kini si Ibu dan si Ayah
dapat melayani dengan kondisi yang solid dan paket lengkap yang siap dalam
iman, pengharapan, kesabaran, kedisiplinan dan kasih yang sesungguhnya.
Saya tidak perlu menyimpulkan apa-apa. Saya yakin banyak yang mengalami
pengalaman yang sama dengan berbagai versi. Hanya saja ada yang mungkin
kisahnya tidak happy ending seperti itu. Dan sebuah happy
ending memang bukan hanya porsi kemauan Tuhan saja. Sepenuhnya porsi
dari sikap manusia itu juga sangat menentukan. Bila kita masih terus
berharap tanpa harus takut kecewa, dan kita tetap berserah kepada cara Dia
bekerja, akan ada hasil yang maksimal yang direncanakan Allah kepada kita.
Dan itu hanya terjadi, bila keduanya kita terapkan : berharap penuh lalu
berserah penuh. Tidak setengah-setengah atau tidak sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar