MAHABBAH menjadi tingkat keruhanian penting setelah digali berdasarkan pengalaman mistik dari ahli tasawuf Ja’far al-Shidiq yang dianggap sebagai pencetusnya, lalu dikembangkan oleh Syaqiq al-Balkhi, dan Harits al-Muhasibi. Namun, di antara tokoh sufi tersebut yang mendalam dan luas pengaruh konsep mahabbah-nya ialah Rabi’ah al-Adawiyah, yang berprinsip bahwa cinta merupakan landasan ketaatan dan ketakwaan kepada Tuhan. Pandangannya tersebut terlihat dari doanya yang terkenal (via Abdul Hadi WM, 2002:41):
Kucintai Kau dengan dua cinta
Cinta untuk diriku, dan cinta sebab Kau patut dicinta
Cinta untuk diriku ialah karena aku karam
Di dalam ingatan kepada-Mu semata, membuang yang lain
Cinta sebab Kau patut dicinta, karena Kau singkap
Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu
Segala pujian tidak perlu lagi bagiku
Sebab semua pujian untuk-Mu semata
Menurut Imam al-Ghazali, yang dimaksudkan Rabi’ah dengan “cinta untuk diriku” ialah cinta kepada Allah disebabkan oleh kebaikan dan karunia-Nya, sedangkan “cinta sebab Kau patut dicinta” ialah cinta disebabkan oleh keindahan dan keagungan-Nya (al-jamaal dan al-jalaal) yang menyingkap rahasia diri-Nya. Kedua cinta tersebut merupakan cinta paling luhur dan dalam, dan merupakan kelezatan dalam menyaksikan keindahan Tuhan (Abu al-Wafa al-Taftazani, cet II, 1997:87).
Cinta model pertama ini perspektifnya ialah cinta rindu (syawq), sedangkan cinta model kedua itu perspektifnya ialah cinta peleburan (fanaa)”…. karena Kau singkap/ Penghalang sehingga aku dapat memandang-Mu”. Di sini kemudian gagasan Rabi’ah tentang cinta memunculkan pentingnya peran dzikir untuk meningkatkan pengalaman keagamaan dan mempertebal perasaan ketuhanan di dalam kalbu. Al-Junayd (via annemarie Schimmel, 2003:171) mendiskripsikan perubahan yang diakibatkan oleh cinta Ilahi itu sebagai berikut, “Cinta adalah leburnya pencinta ke dalam sifat-Nya, dan menetapnya Yang dicintai di dalam Dzatnya”. Dengan kata lain, diungkapkan oleh al-Junayd bahwa “Cinta berarti sifat-sifat yang Dicinta masuk ke dalam sifat-sifat pencinta”.
Al-Ghazali (ibid) juga memetaforikan cinta yang mensucikan ini sebagai “Pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit” seperti yang dicitrakan oleh Al-Qur’an (QS 14:42), buahnya menampakkan dirinya di dalam hati, di lidah, dan seluruh anggota badan. Buah tersebut adalah ketaatan kepada seluruh perintah Allah, dan mengingat-Nya secara terus-menerus dalam keadaan apapun. Oleh karena itu, seorang pencinta menanggalkan seluruh kediriannya dan menggantikannya dengan apa saja yang menjadi perintah dari Yang Mahakekasih (Allah) sehingga ia hidup dengan keyakinan seperti ini, “Tak ada kebaikan dalam cinta tanpa kematian”, yang dimaksudkan ialah “mati sebelum mati”. Pada tingkat yang paling ekstrem, penerimaan terhadap penderitaan itu dilakukan oleh al-Hallaj, yang menurutnya, “Penderitaan adalah Dia Pribadi”. Semakin Tuhan mencintai seseorang, maka semakin berat Tuhan mengujinya. Para Rasul adalah orang yang paling dekat hubungannya dengan Tuhan, oleh sebab itu, para Rasul yang paling banyak mendapatkan penderitaan sebagaimana diungkap di dalam Al-Qur’an. Hal ini juga diungkap melalui hadis bahwa “Orang yang paling menderita adalah para Rasul, lalu para wali, dan seterusnya”. Itulah sebabnya al-Hallaj dengan ikhlas, menari riang menjemput maut, sebab baginya seorang martir cinta diberi hak surga.
Keyakinan semacam itu berangkat dari firman Tuhan bahwa “Jangan sebut mati mereka yang terbunuh karena Tuhan. Tidak. Mereka hidup” (QS 3:163).
Dalam perspektif sufisme, cinta Tuhan mendahului cinta dari manusia terhadap Tuhannya sebab apabila Tuhan sudah mencintai hamba-Nya, maka sang hamba tak pernah bisa menolak cinta-Nya sebab prakarsa terlebih dahulu datang dari Tuhan. Pandangan demikian berangkat dari pernyatan Al-Qur’an bahwa “Ia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya” (QS 5:59).
Tentang cinta Ilahi yang sempurna itu ada tingkatan-tingkatan cinta, yang tentu saja masing-masing sufi juga tidak pernah sepaham tentang urutan tingkatannya maupun jumlah tingkatan berjenjang yang harus dilalui seorang pelaku sufi. Tentang klasifikasi tingkatan cinta ini juga tidak dapat dipisahkan dengan tema yang lebih besar berkenaan dengan keadaan mental dari sufi (ahwal) dan tingkatan-tingkatan spiritualitas sufi (maqam).
Ja’far al-Shidiq, imam keenam dari kaum Syi’ah (w.148 H/765 M) mengatakan bahwa Tuhan tidak terbatas, karenanya gnosis (ma’rifah) juga tidak terbatas. Ja’far al-Shidiq sebagai perintis gagasan cinta Ilahi menandai duabelas tanda hati yang mengandung cinta Ilahi, dan tanda itu sekaligus sebagai tingkatan yang menganalisis perjalanan spiritual menuju penglihatan wajah Tuhan, antara lain sebagai berikut: (1) tanda iman; (2) tanda gnosis (ma’rifah); (3) tanda akal (‘aql); (4) tanda keyakinan (yaqin); (5) tanda kepasrahan (islam); (6) tanda kemurahan hati (ihsan); (7) tanda kepercayaan kepada Tuhan (tawakkul); (8) tanda rasa takut kepada Tuhan (kahwf); (9) tanda harapan (raja’); (10) tanda cinta (mahabbah); (11) tanda rindu (syawq); dan (12) tanda gairah (walah) (via Carl W Ernst, dalam Seyyed Hossein Nasr, 2002:510-511).
Abu al-Qasim al-Qusyayri (w.465 H/1072 H) (ibid 517) melalui buku saku terkenalnya tentang sufisme menempatkan cinta (mahabbah) dan kerinduan (syawq) begitu pentingnya sebagai tingkatan ke-49 dan ke-50 dari seluruh limapuluh maqam yang ia ungkapkan. Dalam pandangan al-Qusyayri, kerinduan adalah kompelsk sebab tidak sekadar keterpisahan atau keberhadiran sang Kekasih, melainkan begitu kuat sehingga hanya berlanjut pada pertemuan dengan Tuhan. Al-Qusyayri juga menempatkan cinta sebagai prinsip menyeluruh kemajuan spiritual. Ia membagi cinta menjadi tiga derajat, kejujuran (rasti), kemabukan (masti), dan kehampaan (nisti).
Akan tetapi, Ruzbihan Baqli (w.606 H/1209 M), tergolong sufi Parsia awal yang menyusun risalah tentang tingkatan cinta dalam bahasa Parsia Abhar al-Asyqin (Melati Para Pencinta) secara kompleks dan memukau. Di dalam kitabnya itu Ruzbihan menggambarkan pendakian mistik ke cinta yang sempurna, yang terdiri dari duabelas maqam, yakni: (1) ‘ubudiyyah atau kehambaan; (2) wilayah atau kewalian; (3) muraqabah atau meditasi; (4) khawfi atau rasa takut; (5) raja’ atau harapan; (6) wajd atau penemuan; (7) yaqin atau keyakinan; (8) qurbah atau kedekatan; (9) mukasyafah atau penyingkapan; (10) musyahadah atau penyaksian; (11) mahabbah atau cinta; dan (12) syawq atau kerinduan. Keduabelas maqam tersebut diikuti oleh derajat tertinggi yaitu cinta universal (‘isyqi kulli) yang merupakan tujuan ruh (ibid:521).
Tentang tingkatan cinta yang digagas oleh Ruzbihan Baqli tersebut, Carl W Ernst (ibid: 521-522) menjelaskannya secara ringkas dan menarik sebagai berikut
Kehambaan terdiri dari praktik-praktik disiplin spiritual seperti dzikir, shalat, diam, puasa, dalam rangka mensucikan sifat seseorang. Kewalian mencakup sifat-sifat seperti taubat (tawbah), kesalehan (wara’) dan asketisme (zuhud). Meditasi didasarkan pada pengendalian atas pemikiran yang serampangan dan melihat hakikat sejati diri. Rasa takut adalah sejenis mensucikan api yang membangkitkan perilaku para nabi, meskipun tidak benar bahwa ia mengasingkan seseorang dari sang Kekasih.
Kemudian harapan adalah obat yang menuntun kepada musim semi jiwa. Penemuan adalah memperoleh kedekatan sang Kekasih…..Keyakinan sang elit (sufi) adalah sesuatu yang berada di luar keimanan yang bisa digoyahkan yang berupa keyakinan manusia awam; ia adalah merasakan langsung sifat-sifat Ilahi dalam transendensi intensif yang semakin besar, yang digambarkan Ruzbihan dalam imaji karakteristik sebagai terbakarnya sayap-sayap burung dalam api (cahaya). Penyingkapan, terjadi pada tingkatan akal, hati dan ruh untuk menyingkapkan bentuk-bentuk cinta yang berbeda; ia menggabungkan cinta dan keindahan dalam jiwa dan menyingkapkan kekuasaan Ilahi sebagai anggur cinta. Penyaksian adalah kategori yang dibagi Ruzbihan ke dalam dua bagian seperti ketenangan hati dan kemabukan (pembagian yang dapat dibuat dalam setiap maqam); bagian tenang penyaksian adalah pemakaian jubah Ilahi (iltibas), ciri Ibrahim, sementara bagian mabuk darinya adalah penghapusan (mahw), sifat Musa, namun Muhammad menggabungkan dua pengalaman ini dalam penyaksiannya.
Menurut Ruzbihan (ibid), cinta pada intinya dapat dibagi menjadi dua, cinta pada manusia awam, dan cinta pada para ahli. Cinta pada manusia awam ini didasarkan pada manifestasi keindahan dalam ciptaan, derajatnya ialah keimanan daripada penyaksian langsung. Cinta pada para ahli didasarkan pada tiga hal, pertama tatkala ruh yang belum berwujud mengadakan perjanjian dengan Tuhannya yang mengakui Allah sebagai Tuhannya (QS 7:171); kedua, di saat ruh tidak lagi terselubung oleh sifat manusia, melainkan manusia dan Tuhannya sudah tidak ada lagi penghalang; ketiga, penyaksian yang menyempurnakan yang kedua tadi, sang hamba sebagai cermin dari sifat-sifat ketuhanan sehingga siapa pun yang menatap pencinta akan menjadi pencinta Tuhan.
Pada tingkat kerinduan (syawq) oleh Ruzbihan (ibid:523) digambarkan bahwa kerinduan adalah api yang membakar semua pikiran, hasrat, dan selubung dari hati, karenanya jika cinta dan kerinduan mencapai kesatuan, maka diri manusia akan “lenyap” (fana). Akhir batas cinta menurut Ruzbihan didefinisikan oleh dua tingkatan yaitu gnosis (ma’rifah) dan keesaan (tawhid), di atasnya sudah tidak ada lagi. Pada titik ini pantas untuk mengatakan dalam ungkapan eskatis (syathiyyah) seperti pernyataan Abu Yazid, “Mahaterpujilah Aku”; atau, ungkapan al-Hallaj, “Akulah Kebenaran”. Pengalaman pencinta dalam keadaan eskatis itu atas kemanunggalan dengan Tuhan melampaui semua bentuk ungkapan lain.
Pada titik ini pula, cinta dipersepsi dan diposisikan sebagai bentuk akhir hubungan manusia dan Tuhan. Faktor prinsip yang menjunjung cinta di atas keduniaan, yang berada di luar hasrat ego diakui semenjak Rabi’ah al-Adawiyah. Para sufi menyingkap pemahaman cinta melalui karakteristik pengalaman batin melalui keadaan (ahwal) an tingkatan (maqam) spiritual, dan kekayaan kejiwaan merekalah yang membedakan masing-masing pemahaman terhadap cinta. Jumlah maqam yang berbeda-beda itu hanya menunjukkan prioritas masing-masing pelakunya untuk memberi penekanan tertentu pada tingkat tertentu menuju cinta Ilahi. Maqam-maqam itu tiada lain bertujuan sama, yakni hanya demi menandai tingkat kemajuan pelaku sufi sebagai kekasih menuju penyatuan dengan Yang Mahakekasih (Allah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar